Kamis, 14 Oktober 2021

Angle in the House

By, Febri Wengke

 A husband and wife named Alec and Zooey are abandoned by their five-year-old son. The child died as a result of the impact that hit him, which occurred in front of the door of the house. After a long time without having children, the husband and wife longed to have another child in their lives, but a medical examination revealed that the wife would not be able to conceive again. Then the husband and wife plan to adopt a child from an orphanage named Foster. The wife met a boy who was very unique from his very different nature from other small children, the name of the little boy was Eli. Uniquely, it is not husband and wife who choose children, but children who choose husband and wife and suddenly appear at the door. Husband and wife adopt a small child. The unique thing about the presence of the seven-year-old child turned out to be a little angel that the husband and wife did not realize. That a child is from a unique appearance, attitude and speech like an adult. The husband and wife were surprised and liked the little boy very much. Throughout life with this small family, many changes have occurred, starting from the loss of sadness over the loss of a husband and wife's biological child, the game business of her husband's children which previously declined and then rose again to become a developed and prestigious business, and finally. family life becomes more harmonious. . Thus, when the wife returned for an obstetrical examination, it was stated that she could be pregnant again. Everything is united in the welfare of family life because of the presence of a little angel who brings blessings in the house. in the end one day, that it was true that the little boy was an angel, he also disappeared and left a husband and wife they did not expect.

Rabu, 13 Oktober 2021

Bisikan Neneku

Oleh, Febri Wengke
Siang itu dikala teriknya matahari menyinari bumi manusia ini, aku kembali sejenak berteduh di warung pojok jalan milik seorang perempuan tua yang kini kuanggap neneku sendiri, Nenek Okimah namanya. Selang beberapa bulan setelah selesainya sebagian urusan kuliahku yang menjelang wisuda, neneku yang sedang menyiapkan dagangan di warungnya lantas kaget dengan kedatanganku. 
“Nek, selamat sore. Apa kabar?” Salam dan tanyaku pada nenek.
Nenekpun kaget dan berdiri karena menedengar suaraku sambil tanganya yang satu memegang jajanan jualanya, tanganya yang satu menepuk bahuku.
“Nak, nak. Sudah lama kau tak kesini lagi? Saya tunggu selama ini, saya pikir, barangkali kau sudah pulang kampung” tanya dan seru nenek tanpa menanggapi pertanyaanku terkait kabarnya. Melihat kondisinya sayapun bersyukur nenek masih sehat dan masih dengan tegarnya berjualan.
“Ma’afkan saya nek, semenjak saya selesai ujian skripsi saya terima kerjaan, selama ini saya sibuk kerja, jadinya jarang datang kemari” jelasku pada nenek.
“Syukurlah kalau kau sudah kerja nak. Tidak ada hari libur’kah”? Tanya nenek sambil buatkan kopi hitam kesukaan saya.
“Ma’af nek, ada liburnya diakhir pekan. Tapi ada-ada saja kerja tambahan yang hasilnya cukup” 
“Baiklah, intinya jangan sia-siakan harimu dengan hal yang tidak bermanfaat. Apalagi kau masih muda, nak. Kerjalah apa-apapun itu kalau memang menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk hidupmu” pesan nenek untukku. Entah apa yang diketahui nenek dengan pedalamanya memandangi saya sambil berbisik “nak, carilah pasangan hidupmu dan menikahlah, agar kau lebih terarah lagi perjalananmu selanjutnya dan bahagia”. Aku yang mendengar bisikan itu tertawa bercampur kebingungan “kenapa seperti itu nek” tanyaku.
“Iya, supaya kau ada penuntun yang mendobrakmu untuk lebih giat lagi bekerja mencapai puncak kebahagian” tambah nenek.
Kuseruputi kopiku yang hangat dengan ampasnya menempel pada kumisku yang tipis. Kemudian kumenerangkan “nek, memang soal itu pasti akan kucari, nanti seiring peroses berjalanya hidup, untuk saat sekarang jangan dulu bagiku, karena anak perempuan orang tidak bisa didekatin begitu saja dan belum tentu menerima keadaan kita seperti ini”.
Sambil kucicipi satu persatu jajanan yang disiapkan oleh nenekuntuk menemani seruput kopiku. Nenek pun mencurahkan “baiklah, kalau memang urusan itu nanti dan pasti kau lakukan, intinya sekarang kau harus banyak cari pengalaman, perbaiki diri dan tambahi penghasilan sebagai bekalmu nanti”.
Pandangku pada langit menyebelahi atap warung nenek “iya nek, benar-benar harus mempersiapkan diri”.
Tegas nenekpun melanjut “tentu diatas segalanya kau harus bertanggung jawab, realita kau harus bekerja menghasilkan sesuatu yang memenuhui kekurangan dan mencukupi kebutuhan, yang walaupun sekiranya nanti kalian bisa berjuang bersama. Tetapi tetap awalnya dari kau sendiri karena kau lelaki”.
Perjumpaan siang yang menjelang sore itu dengan neneku, kurasakan sebagai salah satu kuliah tambahan yang begitu bermanfaat. Seruputan terakhir kopiku mengisyaratkanku untuk beranjak, kemudian kuserahkan gelas kopiku pada nenek dan kubuang pelastik jajan pada tempat sampah yang seketika juga handphone’ku bordering panggilan dari adik kelasku untuk membantu mengerjakan tugas kuliahnya di kos. Sebelum beranjak kumintai nenek totalan belanjaku yaitu enam ribu rupiah. Dengan demikian kuberpamitan dari nenek.

Senin, 04 Oktober 2021

Nggerang

By; Febri Wengke

Ilustration from: Floresa.co

Nggerang is a girl in the legend of the Manggarai community who is very beautiful and elegant. Groaning because of her elegance and beauty, she was contested by several local kings in Manggarai. Because many kings wanted Nggerang, Nggerang was fought over and finally killed as a way to try the kings who fought over Nggerang. Which resulted in Nggerang's skin being used as one of the materials for traditional Manggarai musical instruments, namely Gendang or the drum.

Once upon a time, right in the village of Ndoso “beo Ndoso” which is located in West Manggarai Regency, East Nusa Tenggara Province. In Ndoso village, there was a small baby, namely Nggerang was found on the bank of a river near Ndoso village by one of the residents of Ndoso village. Thus the Nggerang was cared for and raised by the residents of the Ndoso village. Nggerang grew into a very beautiful and graceful girl from the appearance of her white skin and long hair. Because of the beauty and grace of the Nggerang, Nggerang is the highlight of the conversation of Ndoso villagers and spread in several villages in Manggarai. Likewise, the local kings in Manggarai know about the beauty and grace of Nggerang. At that time the most powerful kings and wanted Nggerang to be married included King Todo from Manggarai and King Bima from the Sumbawa archipelago. Even though Nggerang became a struggle for kings, Nggerang with his determination was not interested in being proposed to by these kings. Until several times the king of Todo and the king of Bima came to see Nggerang, but with the power that Nggerang had as a descendant of another human, Nggerang could transform into anything around him. With the power to change shape, Nggerang was not seen at home or around the village of Ndoso. In the end, King Todo and King Bima threatened to kill Nggerang's father, if Ngerang didn't show up to meet the two kings. Because of this threat and Nggerang's love for his father, Nggerang willingly appeared to the kings of Todo and the king of Bima. Even though because of the threat, Nggerang still with his determination did not want to be used as a struggle for the kings and did not want to be proposed to by the kings. Because of Nggerang's refusal, the kings agreed to kill Nggerang. The kings of Todo and the king of Bima with their power made the skin of the stomach and the skin of the back of the Nggerang as two drums, which are one of the traditional Manggarai musical instruments. Because of the Nggerang that comes from another human being and has the power to change shape, making the two drums made of Nggerang skin a sacred drum, that is, when one of the drums is played, it causes light to appear from the sky and the sound propagation will be heard wherever one goes. one Gendang was saved. Of which the two drums, one of which is stored in the king of Todo, was taken from Ndoso because at that time the village of Ndoso was the territory of the Todo Kingdom. Likewise, the other drum is stored in the king of Bima as one of the kings who really wants Nggerang the beautiful and elegant angel. From the sound of the two drums, if from the king of Todo one of the drums is hit, it causes the sound to propagate to the king of Bima, and vice versa. Thus the two drums are stored until now in the Todo Kingdom and the Bima Kingdom. Part of Nggerang's body was buried in the village of Ndoso, where the grave is still well-preserved today.

Personal documentation at Nggerang's cemetery.

Reference; Interviews and stories from Mrs. Elisabet Hasmi, a native of Ndoso Village, West Manggarai Regency, Flores, East Nusa Tenggara.

Kamis, 30 September 2021

Sengitnya Suara Hati dan Pikiran

Oleh, Febri Wengke

Dalam satu diri yang hidup terdapat si Suara Hati dan si Pikiran. Keduanya berada dalam satu diri yang sedang menjalani kehidupanya. Si Suara Hati sebagai pengola rasa dari diri untuk mereaksikan sesuatu yang akan timbul. Sedangkan si Pikiran sebagai perencana dari hasil olah rasa oleh si Suara Hati, dalam hal ini si Pikiran merencanakan bagaimana cara menimbulkan rasa dari si Suara Hati. Si Suara Hati hanya satu rasa satu kali reaksi, tetapi lain halnya si Pikiran dia dengan beribu sel saraf menimbulkan beberapa rencana dengan daya pikiranya.

Oleh  Karena ketidak seimbangnya kapasitas kedua organ tersebut, antara satu berbanding seribu. Yang jika bekerjasama dengan baik antara satu suara hati dengan seribu saraf pikir akan menghasilkan rencana yang baik untuk timbul tujuan hidup yang baik dari diri. Tetapi sebaliknya yang mana kadang antara si Suara Hati dan si Pikiran bertolak belakang mengalami perkelahian di medan batin yang mengakibatkan diri; bingung, stress, gelisah, ragu, tidak percaya dir, takut, dan lain-lain.

Demikianlah keduanya si Suara Hati dan si Pikiran, sebagai organ yang sangat berpengaruh untuk perubahan diri dalam perjalanan hidupnya. Apapun hasil dari antara keduanya aka nada tanggung jawab yang harus diemban untuk diri memperoleh perubahan itu. Jika antara si Suara Hati dan si Pikiran bekerjasama dengan baik hasilnya akan menjadi baik yang akan disandingi dengan tanggung jawab. Begitupun antara si Suara Hati dan si Pikiran, jika saling bertolak belakang akan menghasilkan keburukan pun akan akan disandingi dengan tanggung jawab. Demikian juga jika hasil hanya dari salah satunya saja antara hanya si Suara Hati atau hanya si Pikiran hasilnya pun akan disandingi tanggung jawab.

Diri sendiri pada akhirnya untuk menenangkan keduanya dengan cara meditasi dalam do’a. Meminta kebijaksanaan Tuhan untuk mengadili dan mendamaikan keduanya agar diripun tetap tenang dan fokus dalam perjalanan hidupnya. Ketenangan dan kefokusan diri disandingi tanggung jawab untuk menghasilkan kebijaksanaan hidup.

Jumat, 24 September 2021

Good Father

By, Febri Wengke

I have fondest memories were me and my father was travel to opposite of our village, that village was named Laja village. We have taken walk about an hour from our village named Lingko Cara village, that where we lived. Me and my father were not only to have fun travel, also have to sell the sarong, especially traditional sarong of Manggarai. I love my father so much, his name Petrus Parut. But lovely he was passed away seven years ago, when I was fifteen years old.

One day before my father was dead. I have travelled with him to Laja village, to sell the traditional sarong of Manggarai.

“Hi son, would you like to accompany me to sell the sarong to Laja village today?” He asks me.

“Sure, I would go. Let’s go!” I exclaimed and I was happy. Arrived in Laja village, we were travelling around that village. We were come in one by one each of the houses in Laja village. That was the fondest memories, when the last time me as traveling with my father. Every householder of the houses in Laja village that I and my father came in accepted with very politely. Actually some of the people in Laja village have known well about my father, were they have heard from the others in that village were how kindness of my father. Once we were came in to one of the house in Laja village me and my father was promoted our sarong, the householder were we coming served me and my father by Manggarai coffee and cooked corns. Also the householder talked back to us, how the others have said about the kindness of my father. Until in the end of our promoted of sarong there into that householder, he were not buy our sarong. After some of houses in Laja village were we came in, the householder was the same as not to buy our sarong. But one lasted the householder were we came in, he bayed our sarong and he was took one sarong. But the payment was only to pay the deposit of selling price, the rest of payment that householder will pay, when me and my father comeback to Laja village.

“Mr. Petrus let me take one of your sarongs and at the moment I have only to pay you the deposit of that sarong. Would you? The rest I will pay, when you and your son comeback here to sell the sarong again.” The householder asks and suggests my father.

It was funny and the fondest memories of me,”hihihi……”

Sure, I was laugh on that moment.

“No problem and don’t worry about that, I will come back here to get the rest of the payment.” My father pities him.

“I suggest you for the rest of payment, as not you have to pay by money, but you can change my sarong with something that you have includes; corns, machete, rice, whatever you have. Would you?” My father suggests the householder.

“Okay, I agree with your idea. I have machete, corns, and rice. Which one that you want?” The householder refers.

“I need one machete and two kilograms of corns.” My father decides it.

On that time they were hold with and the householder was changed the rest of payment with one machete and two kilograms corns. My father was accepted it and he was really like the machete. After that, me and my father back home and on the way I was carried the machete and corns.

My father was not to force peoples to pay his sarong with money. Even though only in the form of other objects as to change my father’s merchandises, those other peoples gave as payment, something like barter. My father still accepted it as long as it could still be useful.

I love my father so much, he was so kindness and the men who hard work. He was teach me not only words, also he was shown me the actions on how he did to be kindness and as the hard worker. All I have seen and feel from all the goodness, he had given me in part of my life were I have lived with my father. And that could be even more, if he still alive with me.

Rabu, 22 September 2021

Lingko Cara

By, Febri Wengke
Linkocara is one of attractive rice field, that look like a spider web. It more spectacular view, when you see the rice have growing which it still green. There the hills stand around, which one of the hill you must to climb is Weol hill. From the top of Weol hill, you will show the Lingkocara rice field. Lingkocara was made by the ancestors of peoples in Cara Village, which the made of rice fields was taken from the roof shape of the Manggarai traditional house which also resembles a spider's nest. Location of Lingkocara is in Flores Island, which in Manggarai Regency. From the city center of Manggarai to Lingkocara will be reach  about 1 hour, if it by car and will be reach  about 40 minutes, if using the motorbike.

Jumat, 10 September 2021

Bangsa Dengan Segala Ketidakadilanya

Oleh: Febri Wengke
Sumber:Kelaspintar.id

Yang terjerat penjara lima tahun itu adala si Pondik, dia sebagai salah seorang petani. Beliau memiliki ladang yang cukup luas dengan tanaman pohon jati yang memadati ladang tersebut. Dia telah menanam pohon jati tersebut sejak berumur tujuh tahun bersama Bapaknya. Menanam pohon-pohon jati tersebut sebagai warisan dari Bapaknya untuk bekal masa depan. “Entah masa depanmu bagaimana dan jadi apa? intinya sekarang kau harus menanam pohon, nantilah bakal kau ketahui apa tujuan dari menanam pohon sejak sekarang”. Jelas dari si Pondik sebagai pesan dari Bapaknya.

Waktupun berjalan seiring usia Pondik bertambah sampai pada umurnya yang ke limabelas tahun, yang mana pada saat itu juga Bapaknya meninggal dunia. Kesedihan dan kegelisahan si Pondik rasakan mengkabutkan pikiran dan niatnya untuk tidak melanjutkan pendidikanya, dia berhenti pada jenjang Sekolah Menengah Pertama. Mulai saat itu beliau memepekerjakan dairinya sebagai petani, selain menggarap ladang milik orang lain dari sekitar kampungnya, tentunya Pondik juga sangat memperhatikan ladang jatinya sebagai peninggalan dari Almarhum Bapaknya.

Dari pekerjaannya sebagai petani, sekiranya Pondik bisa mencukupi kebutuhan dan bertahan hidup. Memang pada perjalan hidup manusia tidak terlepas dari setiap masalah yang harus dihadapi. Khususnya si Pondik, yang mana beliau bermasalah dengan pemerintah melalui pihak agrarian tanah dan jajran lain dari pemerintah. Bahwasanya tanah yang ditanami pohon jati dari puluhan tahun lalu oleh si Pondik bersama Bapaknya adalah tanah yang tidak bersertifikat. Teteapi tidak demikian juga, yang mana tanah tersebut adalah milik Pondik warisan dari Bapaknya yang dipeoleh melalui pembagian secara adat istiadat. Bahwa seluruh masyarakat adat sangat sepakat dengan hasil musyawarah atas bagian-bagiab tanah tersebut.

Lain halnya dengan pihak pemerintah, yang tidak memikirkan dan tidak peduli dengan pembagian tanah secara adat istiadat, hanya karena tidak memiliki bukti yang akurat. Si Pondik hanya menyampaikan secara lisan bahwa tanah yang dia miliki adalah tanah warisan dari Bapaknya yang diperoleh berdasarkan kesepakatan secara adat bersama warga yang ada di kampung. Demikian juga yang disampaikan oleh warga yang lain sama seperti yang disampakan si Pondik, tetapi itu tetap hanya lisan. Dimana kampung mereka kuatnya saling percaya dalam suatu kesepakatan terutama dalam pembagian tanah. Walaupun itu hanya bermusyawarah secara lisan.

Pada permasalahan ini pihak pemerintah ingin mendapatkan tanah itu dengan tujuan penambangan, yang mana pemerintah telah bersepakat dengan pihak investor yang dari hasil analisisnya bahwa di dalam tanah tersebut mengandung unsur-unsur yang dapat dijadikan semen. Terkait semen sebagai hasil bumi yang sangat tinggi nilainya.

Sebelum peorses pengambil alihan tanah oleh pihak pemerintah, si Pondik dengan segala cara mengajukan permohonan untuk pemerintah tidak mengambil tanahnya yang dijadikan sebagai lahan tambang semen. Pada suatu perundingan, bahwa pemerintah akan memberikan sejumlah uang kepada Pondik untuk meredahkan Pondik dalam penolakannya dan sebagai uang ganti rugi atas tanaman jati yang juga akan diambil oleh pemerintah dari tanah tersebut. Tetapi tidak dengan pendirian Pondik yang memegang teguh, bahwa itu adalah tanah warisan yang tidak dapat diperjual belikan, apalagi dirampas.

Walaupun Pondik menolak tanah warisanya dijadikan tambang semen dan tidak menerima dana. Pihak pemerintah tetap akan melaksanakan proyek pertambangan mereka. Oleh karena itu pula Pondik dan warga kampong geram, mereka dengan mengahdang peroses pertambangan dan mengancam para pekerja tambang, serta menyuruh pekerja pulang bersama alat-alat kerja mereka. Keesokan harinya para pekerja, beserta pemerintah, investor, dan kepolisian terjun langsung ke lokasih tambang, lagi-lagi Pondik dan warga melakukan penghadangan. Tetapi penghadangan kali itu diredahkan oleh pihak kepolisian dengan menangkap si Pondik dan beberapa orang warga lainya sebagai penggerak penghadangan tersebut. Mereka ditangkap dan divonis hukuman penjara lima tahun untuk si Pondik dan tahanan tiga bulan untuk beberapa warga lainya. Kasusnya mereka dituduh diskriminasi atau pengancaman terhadap para pekerja tambang dan penggarapan tanah yang tidak bersertifikat.


5 Destinasi Wisata Yang Wajib Dikunjungi di Labuan Bajo Selain ke Pulau Komodo

  Penulis; Febri Wengke (keindahan kota pelabuhan Labuan Bajo dihiasi puluhan kapal yang mengambang, sumber; dokumentasi pribadi) Kegemara...