Siang itu dikala teriknya matahari menyinari bumi manusia ini, aku kembali sejenak berteduh di warung pojok jalan milik seorang perempuan tua yang kini kuanggap neneku sendiri, Nenek Okimah namanya. Selang beberapa bulan setelah selesainya sebagian urusan kuliahku yang menjelang wisuda, neneku yang sedang menyiapkan dagangan di warungnya lantas kaget dengan kedatanganku.
“Nek, selamat sore. Apa kabar?” Salam dan tanyaku pada nenek.
Nenekpun kaget dan berdiri karena menedengar suaraku sambil tanganya yang satu memegang jajanan jualanya, tanganya yang satu menepuk bahuku.
“Nak, nak. Sudah lama kau tak kesini lagi? Saya tunggu selama ini, saya pikir, barangkali kau sudah pulang kampung” tanya dan seru nenek tanpa menanggapi pertanyaanku terkait kabarnya. Melihat kondisinya sayapun bersyukur nenek masih sehat dan masih dengan tegarnya berjualan.
“Ma’afkan saya nek, semenjak saya selesai ujian skripsi saya terima kerjaan, selama ini saya sibuk kerja, jadinya jarang datang kemari” jelasku pada nenek.
“Syukurlah kalau kau sudah kerja nak. Tidak ada hari libur’kah”? Tanya nenek sambil buatkan kopi hitam kesukaan saya.
“Ma’af nek, ada liburnya diakhir pekan. Tapi ada-ada saja kerja tambahan yang hasilnya cukup”
“Baiklah, intinya jangan sia-siakan harimu dengan hal yang tidak bermanfaat. Apalagi kau masih muda, nak. Kerjalah apa-apapun itu kalau memang menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk hidupmu” pesan nenek untukku. Entah apa yang diketahui nenek dengan pedalamanya memandangi saya sambil berbisik “nak, carilah pasangan hidupmu dan menikahlah, agar kau lebih terarah lagi perjalananmu selanjutnya dan bahagia”. Aku yang mendengar bisikan itu tertawa bercampur kebingungan “kenapa seperti itu nek” tanyaku.
“Iya, supaya kau ada penuntun yang mendobrakmu untuk lebih giat lagi bekerja mencapai puncak kebahagian” tambah nenek.
Kuseruputi kopiku yang hangat dengan ampasnya menempel pada kumisku yang tipis. Kemudian kumenerangkan “nek, memang soal itu pasti akan kucari, nanti seiring peroses berjalanya hidup, untuk saat sekarang jangan dulu bagiku, karena anak perempuan orang tidak bisa didekatin begitu saja dan belum tentu menerima keadaan kita seperti ini”.
Sambil kucicipi satu persatu jajanan yang disiapkan oleh nenekuntuk menemani seruput kopiku. Nenek pun mencurahkan “baiklah, kalau memang urusan itu nanti dan pasti kau lakukan, intinya sekarang kau harus banyak cari pengalaman, perbaiki diri dan tambahi penghasilan sebagai bekalmu nanti”.
Pandangku pada langit menyebelahi atap warung nenek “iya nek, benar-benar harus mempersiapkan diri”.
Tegas nenekpun melanjut “tentu diatas segalanya kau harus bertanggung jawab, realita kau harus bekerja menghasilkan sesuatu yang memenuhui kekurangan dan mencukupi kebutuhan, yang walaupun sekiranya nanti kalian bisa berjuang bersama. Tetapi tetap awalnya dari kau sendiri karena kau lelaki”.
Perjumpaan siang yang menjelang sore itu dengan neneku, kurasakan sebagai salah satu kuliah tambahan yang begitu bermanfaat. Seruputan terakhir kopiku mengisyaratkanku untuk beranjak, kemudian kuserahkan gelas kopiku pada nenek dan kubuang pelastik jajan pada tempat sampah yang seketika juga handphone’ku bordering panggilan dari adik kelasku untuk membantu mengerjakan tugas kuliahnya di kos. Sebelum beranjak kumintai nenek totalan belanjaku yaitu enam ribu rupiah. Dengan demikian kuberpamitan dari nenek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar