Oleh: Febri Wengke
Sore itu sekitar pukul 16.00 sore aku dan sobatku si Pondik
namanya, beranjak menuju kampus. Seperti biasa pada masa normal dulu, 15 menit
sebelum masuk kampus kami bertengger di warung kopi Mbo Diah yang tidak jauh
hanya bersebrangan jalan depan kampus. Bertengger sejenak menyeruput kopi sore untuk memompa diri dari dalam jantung. Sekiranya kopi efeknya memompa jantung
juga ya? Entah? Tanya para pakarnya. Lanjut kisah, memang kopi adalah pemberi
nikmat dan inspirasi sejati untuk aku dan sobatku si Pondik kembali mengawali
hari kuliah kami dengan semangat dan bergairah dalam segala kegiatan kami
dikala itu hari kamis dimana semalam digroup watsapp kelas akan ada tugas
terjemahan pidato dari Mr. Obama pada hari kamis. Karena katanya masih Pandemi Covid
Sembilanbelas kami satu persatu hanya mengambilkan selembar kertas pidato dari
Mr. Obama yang telah dititipkan di Pos Satpam oleh dosen untuk kami
terjemahkan.
Tak kurang ramah dan catiknya Mbo Diah sudah terbiasa dengan
selera kami dengan racikan setengah sendok gula dan satu setengah sendok kopi
harganya tetap sama adalah lima ribu rupiah pergelas. Uuuh! Sruputnya tidak kurang nikmat kopi asli Bali. Sejenak
bertengger di warung Mbo Diah yang bertetanggaan dengan rumah Tuan Juragan Tanah
adalah tanah warisan karena satu-satunya cucu dan anak laki-laki dari keturunan
keluarganya, pun warisan banyak Tuan itu dapatkan. Tak kurang tanah dari Tuan
itu, beliau menjual salah atau benar satunya untuk membeli mobil bertuliskan di
depanya Panther.
“Ohoi! Gaganya,” Seru si
Pondik.
Tuan itu sambil mengatur posisi mengeluarkan mobilnya dari
halaman rumahnya, nanti entah kemana Tuan itu siapalah kami wong cilik tidak
kurang hanya ingin sejenak menyaruput kopi di warung Mbo Diah.
Terdengar lantang suara itu, “Pagi Tuan, mau kemana?” Tanya Mbo
Diah sekeder ingin bertegur sapah dengan tetangganya.
“Mau ke Kantor Desa terima bantuan Kopid sembilan belas, Mbo
Diah.” Lantang jawab Tuan itu dari mobilnya yang sambil melajukan mobilnya.
Kaparat! Aku yang tengah menyeruput kopi langsung kusemburkan
lagi tepat muka sobatku si Pondik.
“Woe! Apapulalah kau ini? Kepanasankah kau karena kopinya?”
leceh Si Pondik sambil terbahak.
“Kenapa anak muda? Kurang gulakah kopinya? Supaya saya
tambahkan gula.” Tawar Mbo Diah.
Kaparat! Bukan kepanasan, pun bukan kurang gula. Barangkali lebih
nikmat dan sehat lagi, jika tanpa gula yang mengakibatkan penyakit gula dan
darah tinggi.
Kaparat! Miris mendengar dan menyaksikan Tuan Juragan Tanah
itu menerima bantuan Kopid Sembilan belas katanya dalam logat local dari Tuan
Juragan Tanah itu. Apalah kita wong cilik, sobat. Ngekos belum tentu dibayar lancar
dan hanya sekedar ingin makan mie instan harus bertaruh orang tua bertani
diladang.
“Mbo Diah tidak ke Kantor Desa untuk terima bantuan Kopid
Sembilanbelas?” tanyaku.
“Lah, anak muda mana aku tahu jika masih ada bantuan Kopid
Sembilanbelas, kata aparat Desa bantuanya sudah selesai.” Kata Mbo Diah. Aku dan
sobatku Si Pondik pun terdiam. “Pun dari awal pandemi saya tidak menerima
bantuan Kopid Sembilanbelas.” Tambah Mbo Diah. Aku dan Si Pondik ternganga dan
menggeleng, lalu kami lanjut beranjak ke kampus sambil menyeruput terakhir
menghabiskan se cangkir kopi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar