Kamis, 03 Juni 2021

Kisah Pada Kopiku Yang Tersemburkan

Oleh: Febri Wengke

Sumber: Garnesia.com

Sore itu sekitar pukul 16.00 sore aku dan sobatku si Pondik namanya, beranjak menuju kampus. Seperti biasa pada masa normal dulu, 15 menit sebelum masuk kampus kami bertengger di warung kopi Mbo Diah yang tidak jauh hanya bersebrangan jalan depan kampus. Bertengger sejenak menyeruput kopi sore untuk memompa diri dari dalam jantung. Sekiranya kopi efeknya memompa jantung juga ya? Entah? Tanya para pakarnya. Lanjut kisah, memang kopi adalah pemberi nikmat dan inspirasi sejati untuk aku dan sobatku si Pondik kembali mengawali hari kuliah kami dengan semangat dan bergairah dalam segala kegiatan kami dikala itu hari kamis dimana semalam digroup watsapp kelas akan ada tugas terjemahan pidato dari Mr. Obama pada hari kamis. Karena katanya masih Pandemi Covid Sembilanbelas kami satu persatu hanya mengambilkan selembar kertas pidato dari Mr. Obama yang telah dititipkan di Pos Satpam oleh dosen untuk kami terjemahkan.

Tak kurang ramah dan catiknya Mbo Diah sudah terbiasa dengan selera kami dengan racikan setengah sendok gula dan satu setengah sendok kopi harganya tetap sama adalah lima ribu rupiah pergelas. Uuuh! Sruputnya  tidak kurang nikmat kopi asli Bali. Sejenak bertengger di warung Mbo Diah yang bertetanggaan dengan rumah Tuan Juragan Tanah adalah tanah warisan karena satu-satunya cucu dan anak laki-laki dari keturunan keluarganya, pun warisan banyak Tuan itu dapatkan. Tak kurang tanah dari Tuan itu, beliau menjual salah atau benar satunya untuk membeli mobil bertuliskan di depanya Panther.

 “Ohoi! Gaganya,” Seru si Pondik.

Tuan itu sambil mengatur posisi mengeluarkan mobilnya dari halaman rumahnya, nanti entah kemana Tuan itu siapalah kami wong cilik tidak kurang hanya ingin sejenak menyaruput kopi di warung Mbo Diah.

Terdengar lantang suara itu, “Pagi Tuan, mau kemana?” Tanya Mbo Diah sekeder ingin bertegur sapah dengan tetangganya.

“Mau ke Kantor Desa terima bantuan Kopid sembilan belas, Mbo Diah.” Lantang jawab Tuan itu dari mobilnya yang sambil melajukan mobilnya.

Kaparat! Aku yang tengah menyeruput kopi langsung kusemburkan lagi tepat muka sobatku si Pondik.

“Woe! Apapulalah kau ini? Kepanasankah kau karena kopinya?” leceh Si Pondik sambil terbahak.

“Kenapa anak muda? Kurang gulakah kopinya? Supaya saya tambahkan gula.” Tawar Mbo Diah.

Kaparat! Bukan kepanasan, pun bukan kurang gula. Barangkali lebih nikmat dan sehat lagi, jika tanpa gula yang mengakibatkan penyakit gula dan darah tinggi.

Kaparat! Miris mendengar dan menyaksikan Tuan Juragan Tanah itu menerima bantuan Kopid Sembilan belas katanya dalam logat local dari Tuan Juragan Tanah itu. Apalah kita wong cilik, sobat. Ngekos belum tentu dibayar lancar dan hanya sekedar ingin makan mie instan harus bertaruh orang tua bertani diladang.

“Mbo Diah tidak ke Kantor Desa untuk terima bantuan Kopid Sembilanbelas?” tanyaku.

“Lah, anak muda mana aku tahu jika masih ada bantuan Kopid Sembilanbelas, kata aparat Desa bantuanya sudah selesai.” Kata Mbo Diah. Aku dan sobatku Si Pondik pun terdiam. “Pun dari awal pandemi saya tidak menerima bantuan Kopid Sembilanbelas.” Tambah Mbo Diah. Aku dan Si Pondik ternganga dan menggeleng, lalu kami lanjut beranjak ke kampus sambil menyeruput terakhir menghabiskan se cangkir kopi.

5 Destinasi Wisata Yang Wajib Dikunjungi di Labuan Bajo Selain ke Pulau Komodo

  Penulis; Febri Wengke (keindahan kota pelabuhan Labuan Bajo dihiasi puluhan kapal yang mengambang, sumber; dokumentasi pribadi) Kegemara...